Metode Istinbat

Ilmu Ushul Fiqh

Oleh : Ali Jum‘ah

Menurut Imam Abu Zahrah, ilmu Ushul Fiqh adalah metodologi yang digunakan para mujtahidîn dalam menggali hukum syar‘i dari nash al-Qur’an ataupun hadits dengan mengidentifikasikan ‘illât dari suatu hukum sesuai dengan tujuan dasar diturunkannya syari’ah. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqh merupakan kumpulan kaidah dasar mengenai sistematika penggalian hukum dari berbagai dalil syar‘i. Maka di dalamnya mencakup kajian mengenai nash secara langsung, seperti sistematika penggalian hukum melalui ilmu semantik, menggabungkan dua nash jika terjadi benturan secara zhahir, atau berupa kajian yang bersifat ma‘nawiyyah yang tidak berhubungan secara langsung dengan nash seperti mengeluarkah illât dalam suatu nash, dan juga penggunaan serta pemilihan metodologi terbaik dalam penggalian hukum syar‘i dari illah tersebut.[1] Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, ilmu Ushul Fiqh merupakan ilmu yang menerangkan mengenai kaidah-kaidah dasar dan rumusan global (al-adillah al-ijmâliyyah) yang dapat membantu para mujtahid dalam menggali hukum Fiqh.[2]

Perbedaan antara ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah bahwa ilmu Ushul Fiqh lebih menitikberatkan pada landasan teoritis yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), sementara Fiqh lebih terfokus pada tataran praktis yang diambil dari dalil tafshîlîy. Fiqh dan Ushul Fiqh mempunyai kesamaan, yaitu mencari ketentuan hukum syar’i. Hanya saja Ushul Fiqh bergerak dalam tataran metodologis, sedangkan Fiqh bergerak dalam tataran praktis. Di samping itu, Ushul Fiqh merupakan piranti yang dapat digunakan untuk menghasilkan hukum Fiqh.[3]

Munculnya ilmu Ushul Fiqh sebenarnya bersamaan dengan Fiqh, karena bagaimanapun juga dalam penggalian hukum syar’i para ulama mujtahidîn tidak akan lepas dari metodologi Ushul Fiqh. Hanya saja, pembukuan Fiqh lebih awal dari pada Ushul Fiqh.[4]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para sahabat pun dalam memberikan ketentuan hukum Fiqh sebenarnya telah memiliki rumusan tertentu. Hanya saja, antara satu sahabat dengan sahabat lain terkadang memiliki rumusan yang berbeda sehingga berimplikasi pada ketetapan fatwa yang berbeda pula. Ilmu Ushul Fiqh baru menjadi rumusan yang terbukukan secara sistematis oleh imam Syafi’i dalam bukunya, al-Risâlah. Buku inilah yang kemudian menjadi inspirasi ulama lain untuk mengikuti jejak beliau dalam memberikan rumusan dasar dalam berijtihad.

Metodologi penulisan ilmu Ushul Fiqh dapat dibagi menjadi tiga:

  1. Al-Mutakallimûn, yaitu penulisan ilmu Ushul Fiqh berdasarkan pada analisa dan rumusan-rumusan teoritis tanpa melihat titik persamaan atau perbedaan para ulama Ushul terhadap permasalahan furû’iyyah. Dengan demikian, apa yang dilakukan ulama mutakallimûn merupakan metodologi murni yang berasal dari kajian induktif atas nash syar‘i. Hukum Fiqh hanya dijadikan sebagai contoh praktis.[5] Kesan dari penulisan model ini adalah bahasan yang bersifat filosofis-analisis. Tujuannya adalah bahwa ilmu Ushul Fiqh dijadikan sebagai timbangan dan sandaran terhadap ketentuan hukum Fiqh. Juga sebagai standarisasi yang digunakan para mujtahidîn dalam menggali ketetapan hukum lepas dari sekat-sekat madzhab. Dengan demikian, metode penulisan seperti ini dapat terhindar dari fanatisme madzhab tertentu. Di antara yang menggunakan medel penulisan seperti ini adalah Muktazilah, Syafi’iyah dan Malikiyah.
  2.  Al-Hanafiyyah, yaitu suatu metode penulisan yang dilakukan oleh pengikut imam Hanafi dengan menganalisa hasil dari ijtihad sang imam, kemudian merumuskan metode yang digunakan oleh imam berdasarkan dari hasil analisis tersebut. Maka model rumusan metodologi ini bersifat praktis dan lebih memihak madzhab tertentu. Kelebihannya adalah bahwa rumusan tersebut lebih banyak bersentuhan dengan hukum Fiqh dari pada perdebatan filosifis-metodologis.
  3. Metode akomodatif, yaitu penggabungan dari dua metode penulisan di atas. Mereka tidak terlalu berdebat dalam tataran filosofis-metodologis, namun juga tidak terlalu terpaku dengan persoalan furû’iyyah. Mereka meletakkan rumusan kaidah Ushul yang ditopang dengan argumentasi logis, sebagai standar dan penentu dalam penetapan hukum syariat. Selain itu, mereka juga menambahan contoh-contoh praktis yang diambil dari para imam. Model penulisan seperti ini banyak diikuti oleh para ulama muta’akhkhirîn, baik dari madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, Ja’fari bahkan madzhab Hanafi.[6]

Dalam perkembangan  selanjutnya, banyak terjadi penambahan dalam rumusan ilmu Ushul Fiqh sesuai dengan perkembangan permasalahan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, ilmu Ushul Fiqh sebagai rumusan metodologi dalam penggalian hukum Fiqh sebagaimana yang kita lihat saat ini, merupakan hasil dari perjalanan proses yang cukup panjang. Berbagai cabang ilmu pengetahuan juga turut mempengaruhi perkembangan ilmu Ushul Fiqh, termasuk juga Logika Aristoteles. Hal ini nampak jelas dalam berbagai karya imam Al-Ghazali. Beliau sendiri mengatakan bahwa siapa saja yang tidak mengetahui ilmu logika maka keabsahan ilmunya perlu diragukan.

Tentu saja perkembangan ilmu Ushul Fiqh tidak berhenti sampai di situ saja. Sampai saat ini, ilmu Ushul Fiqh masih mendapatkan perhatian serius dikalangan para ulama. Bahkan belakangan muncul berbagai usulan seputar rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh.

Inilah yang menjadi perhatian serius Ali Jum‘ah. Baginya, ilmu Ushul bukanlah cabang ilmu yang sudah sempurna, namun ia masih membutuhkan perbaikan agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Ushul Fiqh klasik perlu mendapat kajian dan penulisan ulang untuk disesuaikan dengan konteks kekinian. Tidak hanya sampai di situ, beliau juga menghendaki terjadinya penambahan dalam muatan ilmu Ushul Fiqh.

Mengingat cakupan mengenai ilmu Ushul—sebagaimana yang ditulis Ali Jum‘ah—cukup luas, maka penulis hanya berusaha menyebutkan tiga point penting dari pemikiran beliau, yaitu relasi ilmu Ushul Fiqh dengan Filsafat, rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh dan problematika ijtihad kontemporer.

Biografi singkat Ali Jum‘ah

Ali Jum‘ah dilahirkan di kota Bani Suwef 1952. Pada tahun 1973 berhasil, meraih gelar Bachelor dari fak. Ekonomi Universitas ‘Ain al-Syams. Tahun 1979 memperoleh gelar License dari Universitas al-Azhar dan pada 1985 meraih gelar Master of Art dari fak. Syari‘ah wa’l Qanun di Universitas al-Azhar, serta pada tahun 1988 berhasil menyelesaikan program S3 dari universitas yang sama.

Beliau adalah guru besar ilmu Ushul Fiqh fak. Dirâsât Islâmiyyah wa ‘Arabiyyah di Universitas al-Azhar. Sejak tahun 1995, beliau masuk menjadi anggota lajnah  fatwa di al-Azhar. Tahun 1996 ikut bergabung dengan anggota lajnah Fiqh di Majlis A‘la lî Syu’ûni’l Islâmiyyah. Sejak tahun 1992, menjabat sebagai penasehat akademi dan direktur pada The International Institute of Islamic Though (IIIT). Sejak tahun 1993 diangkat menjadi wakil direktur Markaz Shâlih ‘Abdullah Kâmil untuk ekonomi Islam di Universitas al-Azhar.[7] Sejak tahun 2003, beliau menjabat sebagai mufti negara untuk Republik Arab Mesir.

Beliau juga ikut aktif dalam penerbitan berbagai jurnal ilmiah seperti: al-Muslim al-Ma‘âshir, Râbithah al-Jâmi‘ah al-‘Arabiyyah, jurnal al-Islâm, dan jurnal Kulliyyah al-Dirâsât al-Islâmiyyah wa al-‘Arabiyyah. Beliau sering mengikuti berbagai seminar baik atas nama pribadi atau mewakili Imam Akbar Syeikh al-Azhar di berbagai negara seperti Inggris, Spanyol, Philiphina, Rusia, Amerika, Malaysia, Jepang dan lain-lain.

Beliau juga sangat produktif khususnya dalam bidang ilmu Ushul Fiqh. Di antara karya beliau adalah: al-Musthalah al-Ushûliy, Qadhiyyah Tajdîd Ushûli’l Fiqh, al-Hukm al-Syar‘iy ‘inda al-Ushûliyyîn, al-Madkhal li Dirâsât al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Alâqatu Ushûli’l Fiqh bi al-Falsafah, Mabâhits al-Amr ‘inda Ushûliyyîn, al-Ru’ya wa Hujjiyatuhâ al-Ushûliyyah, al-Nadhariyât al-Ushûliyyah, al-Naskh ‘inda al-Ushuliyyîn, dan lain-lain.[8]

Relasi antara Ilmu Ushul Fiqh dengan Filsafat

Menurut Dr Ali Jum‘ah, ilmu Ushul Fiqh merupakan cabang ilmu yang diproduksi murni dari dunia Islam. Ushul Fiqh sebagaimana halnya cabang ilmu lain seperti ‘Ulûmu’l Hadîts dan ‘Ulûmu’l Qur’an, bukanlah cabang ilmu yang diadopsi dari bangsa lain.

Jika metodologi sebagai piranti ilmu pengetahuan merupakan bagian dari Filsafat, maka jelaslah relasi antara ilmu Ushul Fiqh dengan Filsafat. Kajian ilmu Ushul Fiqh mencakup sarana yang harus dilakukan ketika berinteraksi dengan nash syar’i agar dapat dipahami dan juga dapat diketahui ketetapan hukum yang berkaitan dengan manusia. Ketetapan hukum tersebut sering disebut sebagai al-hukm, yaitu khithâbulLâh (wacana Allah) yang berkaitan dengan tingkah laku seorang mukallaf untuk melakukan suatu pekerjaan (al-iqthidhâ’), atau memilih terhadap suatu pekerjaan (al-takhyîr), atau sebab datangnya suatu hukum (al-wadh‘iy). Dari sini maka akan terbentuk suatu permasalahan Fiqh. Tema sentral dari ilmu Fiqh adalah pekerjaan manusia, sementara tema sentral dari ilmu Ushul adalah dalil-dalil yang bersifat global sehingga dapat digali suatu ketetapan hukum.[9]

Dalam hal ini, Imam al-Razi menyatakan bahwa Ushul Fiqh merupakan kumpulan piranti Fiqh secara global, sistematika menggunakan argumentasi tersebut dan kondisi psikologis peneliti. Sementara imam Baidhawi menyebutkan bahwa ilmu Ushul merupakan piranti yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil Fiqh secara global, sistematika dalam mengambil manfaat darinya dan kondisi psikologis peneliti.

Dari dua pandangan di atas dapat di simpulkan bahwa ilmu Ushul Fiqh mencakup tiga point penting, yaitu:

  1. Sumber-sumber penelitian (mashâdiru’l bahtsi);
  2. Metodologi yang digunakan dalam melakukan penelitian; dan
  3. Syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang peneliti.

Tiga hal di atas merupakan prasyarat logis dalam kajian ilmiah sehingga terhindar dari kajian yang bersifat apologis, menjauhkan dari penelitian subyektif dan lebih dekat kepada penelitian obyektif.

Berfikir secara logis bagi seorang peneliti agar dapat sampai kepada hakekat kebenaran dapat dimulai dengan sikap skeptis terhadap obyek kajian yang akan dijadikan sebagai pijakan dasar argumentasi. Dalam hal ini, obyek kajian utama tentu saja al-Qur’an dan al-Sunnah. Dari sini dibutuhkan piranti tertentu yang dapat memberikan gambaran jelas mengenai otentitas dua sumber hukum tersebut. Jika otentitas dua sumber tersebut dapat dipertanggungjawabkan, maka langkah selanjutnya adalah mencari piranti untuk dapat memahaminya. Agar hal ini dapat terwujud, tentunya diperlukan satu metodologi detail sehingga apa yang kita harapkan dapat tercapai sesuai dengan tujuan.[10]

Tentu saja, rumusan global tersebut sebagai mana yang terkandung dalam ilmu Ushul Fiqh berasal dari pandangan komprehensif terhadap kajian Filsafat Islam dan juga ilmu kalam.[11]

Jika dikatakan bahwa tema sentral dari kajian Filsafat adalah pengetahuan mengenai wujud, dalam hal ini mencakup ketuhanan, manusia dan alam raya, kajian mengenai  pengetahuan logika, dan kajian terhadap etika, dari sini kita akan melihat titik temu dan relasi antara ilmu Ushul Fiqh dengan Filsafat Islam. Dalam Filsafat Islam, juga dikaji mengenai otentitas sumber hukum Islam, sistematika interaksi dengannya dan juga pra-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang peneliti. Untuk lebih jelasnya mengenai relasi antara ilmu Ushul dengan Filsafat dapat diketahui dari tiga tingkatan:

  1. Mengetahui sejauh mana relasi antara keduanya;
  2. Mengaktifkan dan mengambil manfaat dari relasi keduanya; dan
  3. Mengembangkan relasi antar keduanya untuk dapat diambil manfaat dari dua sisi sekaligus.

Untuk mengetahui sejauh mana relasi antara Ushul Fiqh dengan Filsafat dapat diketahui dari beberapa obyek kajian, diantaranya adalah:

  1. Persoalan bersama. Ilmu kalam memposisikan diri sebagai sebuah ilmu yang memfokuskan diri pada kajian Filsafat Islam klasik. Di dalamnya terdapat kajian dan jawaban mengenai persoalan wujûd dan ‘adam, kajian mengenai epistemologi, dan kajian mengenai Filsafat Etika. Ia berbicara mengenai hakekat wujud, tabiat wujud, kwalitas dan kwantitas wujud, metodologi berfikir dan tingkata-tingkatan pemikiran kaiatannya interaksi dengan wujud. Dan juga berbicara mengenai persoalan tauhid, mengenai bagaimana memakmurkan alam raya dan juga mengenai kebersihan psikologi seseorang (tazkiyatu al-nafsi). Dan bahkan mencakup kajian terhadap bagian-bagian etika seperti persoalan keadilan Tuhan, baik dan buruk bagi Tuhan (al-tahshîn wa al-taqbîh) apakah dapat diketahui dengan akal ataukah tidak. Dengan menggunakan model pertanyaan yang berkesinambungan, kita akan menemukan bahwa kajian dalam ilmu Ushul Fiqh juga akan merambah pada kajian ilmu kalam. Sebagai contoh: Kenapa khamar diharamkan? Maka jawaban pertama adalah karena ia memabukkan. Dalam istilah ulama Ushul sering disebut sebagai illatu’l hukmi. Selanjutnya kita sebut sebagai al-illah al-ûlâ. Pertanyaan kedua, mengapa sesutu yang memabukkan diharamkan? Jawabannya, karena sesuatu yang memabukkan dapat menggangu stabilitas dan menghilangkan eksistensi akal manusia. Sementara menjaga eksistensi akal merupakan bagian dari tujuan diturunannya syariah (maqâshid al-syar’iy). Selanjutkan ini disebut sebagai al-illah al-tsâniyah. Petanyaan selanjutnya, mengapa Tuhan mengharamkan sesuatu yang dapat menghilangkan eksistensi akal manusia? Jawabannya adalah karena akal merupakan sebab seseorang mendapatkan beban hukum syara’ (manâtu al-taklîf). Sementara taklîf merupakan tujuan penciptaan manusia. Model pertanyaan yang berkesinambungan tersebut dapat memberikan jawaban terhadap sumber utama suatu cabang ilmu pengetahuan dan juga relasi ilmu tersebut dengan cabang ilmu lainnya. Para ulama Ushul sendiri  mengatakan bahwa ilmu Ushul Fiqh bersumber dari tiga cabang ilmu, yaitu ilmu kalam, bahasa dan Fiqh Islam.[12]
  2. Perdebatan dalam ilmu Ushul. Filsafat juga sangat berpengaruh terhadap ilmu Ushul Fiqh sehingga memunculkan perdebatan filosofis dalam berbagai tema. Contoh sederhana adalah kaitannya dengan Filsafat bahasa. Di sini terjadi perbedaan pendapat, apakah teks bahasa dapat dijadikan sebagai argumentasi yang akan menghasilkan ketetapan hukum yang bersifat pasti (qath‘iy) ataukah tidak (zhanniy)? Menurut imam al-Razi, menggunakan argumentasi dengan teks bahasa hanya akan menghasilkan ketetapan hukum yang tidak pasti (zhanniy). Baginya, ketetapan dalam teks bahasa tidak akan pasti, sementara sesuatu yang didasari dari premis yang tidak pasti akan menghasilkan konklusi yang tidak pasti juga. Kemudian beliau mengatakan, “Namun ketahuilah bahwa pernyataan yang menganggap tidak mungkin mendapatkan ketetapan hukum yang bersifat pasti dari argumentasi teks bahasa dapat ditepis jika terdapat argumentasi lain yang menyertai teks tersebut berupa indikator (qarînah). Sehingga dapat membawa kita kepada keyakinan terhadap ketetapan hukum yang bersifat pasti. Indikator (qarînah) dapat berupa sesuatu yang dapat disaksikan langsung, atau berita yang sampai kepada kita secara mutawâtir.”[13]

Dari uraian singkat di atas kiranya sangat jelas apa yang dipaparkan Ali Jum‘ah bahwa ilmu Ushul Fiqh memiliki relasi sangat erat dengan Filsafat. Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu Ushul Fiqh sama sekali tidak dapat dilepaskan dari Filsafat karena Ushul Fiqh juga mengkaji wujud Tuhan, manusia dan alam raya. Ilmu Ushul Fiqh juga terpengaruh oleh Filsafat bahasa. Bahkan kajian ilmu Ushul memberikan ruang khusus atas kajian teks bahasa terutama kaitannya dengan ilmu semantik. Dari ilmu semantik tersebut terjadi perbedaan pendapat yang cukup luas sehingga berimplikasi pada perbedaan dalam memberikan ketetapan hukum syar’i.

Bahkan dapat dikatakan bahwa perkembangan bahasa dalam kajian ilmu Ushul jauh lebih maju dibandingkan perkembangan bahasa dari ulama Nahwu sendiri. Ulama Ushul tidak hanya mengkaji gramatikal bahasa, namun lebih dari itu; mendalami makna-makna detail yang terkandung dalam simbol bahasa. Pendalaman terhadap simbol bahasa muncul dari satu pertanyaan, apakah teks bahasa dapat memberikan informasi mengenai hakekat kebenaran ataukah tidak. Sebagian menganggap bahwa teks bahasa sama sekali tidak dapat memberikan informasi mengenai hakekat kebenaran, sementara sebagian lain menganggap teks bahasa dapat dijadikan sebagai informasi kebenaran.

Rekonstruksi Ilmu Ushul Fiqh

Wacana seputar rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh memiliki sejarah panjang dalam khazanah pemikiran Islam. Bentuk kajian ulang yang ditawarkan para tokoh cendekia juga sangat beragam, dari usulan berupa perubahan dalam bentuk, kandungan, penambahan tema, perubahan kerangka dasar, pendalaman tema, memberikan atau mengembangkan cakupan kajian ilmu Ushul, sampai pada tawaran perubahan secara total dalam kandungan ilmu Ushul Fiqh itu sendiri.

Tuntutan terhadap rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh belakangan ini dapat ditelusuri dari tuntutan rekonstruksi berbagai cabang ilmu secara umum pada abad XIX. Wacana rekonstruksi dalam berbagai cabang ilmu dapat terlihat jelas dari tokoh pembaharu Mesir Refa’ah Thahthawi dalam bukunya Al-Qaul al-Sadîd fî al-Tajdîd wa al-Taqlîd yang dicetak pada tahun 1287 H.

Kemudian wacana rekonstruksi ilmu Ushul makin meluas pada awal abad XX-an di kalangan para dosen Darul Ulum Universitas Kairo. Hanya saja wacana rekosntruksi baru berkisar pada kajian ulang terhadap sistematika penulisan ilmu Ushul sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh al-Khadhariy. Dalam buku Ushul Fiqhnya, al-Khadhariy megatakan bahwa pengajaran ilmu Ushul Fiqh klasik yang banyak memiliki matan dan hawâsyiy, tidak akan banyak memberikan manfaat bagi siswa. Ia menginginkan agar sistematika penulisan ilmu Ushul Fiqh diperbaharui dan dipermudah agar dapat dipahami siswa secara mudah. Dari buku tersebut kemudian diikuti oleh ulama lain, di antaranya adalah Abdul Wahab khilâf, Abu Zahra’ dan lain-lain.

Rekonstruksi model ini sama sekali tidak mendapatkan tantangan dari para ulama. Hanya saja sebagian para ulama merasa pesimis terhadap hasil pendalaman ilmu Ushul dengan model seperti ini. Mereka menganggap bahwa kajian terhadap ilmu Ushul Fiqh klasik justru lebih memberikan manfaat, karena cenderung lebih detail dan mendalam. Maka disamping model penulisan karya Ushul Fiqh secara sistematis dan sederhana, namun sebagian ulama tetap terpaku pada model penulisan klasik seperti yang ditulis oleh syaikh Abdullah Daraz.

Sementara kaitannya dengan penambahan tema dalam ilmu Ushul, sebagian ulama menganggap bahwa penambahan tersebut akan sulit dilakukan. Mereka menganggap bahwa kajian terhadap ilmu Ushul sesungguhnya telah final. Dengan kata lain, ilmu Ushul Fiqh yang ada saat ini telah mencakup berbagai tema sentral berkaitan dengan penggalian hukum. Seringkali kita menganggap bahwa terdapat hal baru yang perlu ditambahkan, namun ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran kitab Ushul Fiqh klasik dari berbagai mazhab, ternyata tema tersebut telah dikaji secara mendetail.

Namun sebagian ulama menganggap bahwa penambahan dan perubahan dalam berbagai tema Ushul Fiqh merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, seperti yang diungkapkan oleh Abdullah al-Shiddiq al-Qhammariy. Ushul Fiqh adalah metodologi yang berkembang bersamaan dengan perjalanan waktu. Semetara persoalan yang dihadapi umat juga semakin kompleks.

Tema-tema sentral dalam ilmu Ushul yang dahulu dianggap sudah final kembali dipertanyakan. Persoalan nâsikh dan manshûh, hujatiyatu al-Sunnah, ijmâ’, ijtihad al-Rasul, dan seterusnya kemudian dikaji ulang.

Pada tahun 70-an, berkembang wacana rekonstruksi kerangka dasar ilmu Ushul Fiqh. Di antara yang melontarkan ide ini adalah Hasan Turabi. Ia menganggap bahwa Ushul Fiqh saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Baginya, Ushul Fiqh klasik hanya merupakan jawaban atas problematika umat yang berkembang saat itu yang masih sangat sederhana. Sementara permasalahan kontemporer semakin luas dan sangat kompleks. Jika memang ilmu Ushul Fiqh adalah jawaban atas realita sosial kemasyarakatan yang dipengaruhi ruang dan waktu, maka untuk menjawab berbagai tantangan yang terus meluas dibutuhkan Ushul Fiqh yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.

Hanya saja menurut Ali Jum‘ah, apa yang dilontarkan oleh Hasan Turabi baru sebatas wacana dan usulan terhadap rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh dan belum menyentuh rekonstruksi Ushul Fiqh seutuhnya. Sebabnya adalah karena Hasan Turabi tidak menjelaskan tema mana saja yang sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema apa yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan kondisi.

Menurut Ali Jum‘ah bahwa ilmu Ushul Fiqh merupakan cabang ilmu yang bersumber dari tiga cabang ilmu sekaligus, yaitu ilmu kalam, ilmu bahasa dan ilmu Fiqh. Sementara itu, bahasa merupakan ilmu yang diterima secara turun temurun (naqliyyah). Bahasa sudah terbentuk dan selesai ketika terjadi pembentukan bahasa tersebut. Maka untuk merubah makna teks bahasa atau struktur dalam tatanan bahasa menjadi sesuatu yang tidak mungkin.

Disamping ilmu bahasa, ilmu kalam juga tidak terpengaruh ruang dan waktu. Mengenai eksistensi ketuhanan, sifat Tuhan, mukjizat, syurga dan neraka, sama sekali tidak terpengaruh oleh perubahan zaman. Untuk ilmu Fiqh, terdapat kaidah Fiqhiyyah yang diambil dari kajian induktif. Meski demikian, Fiqh juga selalu mengacu kepada ilmu Ushul sebagai standar ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, penggalian hukum dari nash syar’i akan terhindar dari ijtihad yang hanya mengikuti hawa nafsu belaka.

Berbeda dengan Hasan Turabi, Salim al-Awa menginginkan agar rekonstruksi dapat dimulai dari analisa kritis terhadap penerapan ilmu Ushul Fiqh tersebut. Dengan kata lain, ia masih sepakat terhadap kandungan ilmu Ushul Fiqh klasik, hanya saja ketika berhadapan dengan realita yang berbeda, maka Ushul Fiqh harus menyesuaikan diri sehingga akan menghasilkan Fiqh yang berbeda pula. Ilmu Ushul Fiqh klasik masih dapat memberikan jawaban terhadap realitas kontemporer tanpa harus merubah bahkan menghancurkan kerangka dasar ilmu Ushul Fiqh itu sendiri.[14]

Ali Jum‘ah sendiri cenderung sepakat dengan rekonstruksi ilmu Ushul. Hanya saja beliau memberikan beberapa catatan, diantaranya adalah:

  1. Ilmu Ushul Fiqh yang sampai kepada kita saat ini memberikan kajian cukup luas. Di dalamnya terdapat berbagai definisi mengenai tema-tema, kaidah-kaidah dan persoalan-persoalan tertentu. Jika dilihat lebih lanjut, para ulama terdahulu memberikan definisi sangat mendetail, seperti mengenai al-‘âm, al-khithab dll. Maka, mengadakan perubahan dalam tataran ini sangatlah sulit—untuk tidak mengatakan mustahil. Persoalannya, terkadang apa yang dikehendaki ulama salaf tidak dapat dipahami oleh khalaf. Untuk itu, perlu dibentuk Mu‘jam Mushthalahât Ushuliyyah yang dapat menerangkan secara jelas berbagai definisi dan persoalan Ushul lainnya.
  2. Kaitannya dengan kaidah Ushul, seperti al-amru yufîdu’l wujûb illa idzâ sharafathu qarînah (kata perintah menunjukkan makna wajib kecuali jika terdapat indikator yang menunjukkan kepada makna lain). Kaidah seperti ini sangat membantu dan dapat memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap proses ijtihad. Pada dasarnya kaidah tersebut diambil dari kajian deduktif atas kaidah-kaidah teks bahasa. Untuk itu, guna mempermudah pemahaman, nampaknya diperlukan suatu tabel contoh praktis. Dengan demikian, kaidah Ushul tidak hanya berkutat dalam tataran teoritis, namun juga dapat diterapkan langsung dalam contoh praktis.
  3. Perlunya pendalaman ilmu semantik, karena ilmu ini barkaitan erat dengan makna bahasa, apakah suatu bahasa memiliki makna hakiki atau metafor dan umum atau khusus, dll. Dalam ilmu semantik akan dikaji secara mendetail mengenai makna teks bahasa. Karena teks bahasa merupakan kumpulan dari kata-kata yang menunjukkan makna tertentu.
  4. Kaitannya dengan permasalahan ilmu Ushul, menurut Ali Jum‘ah, tidak menjadi persoalan ilmu Ushul Fiqh dibukukan sesuai dengan susunan dan model pembukuan kontemporer. Bahkan Ushul Fiqh juga perlu dipermudah dan disederhanakan dengan menghindari berbagai perdebatan lafadz ulama klasik yang kiranya tidak berpengaruh pada penetapan hukum.
  5. Sedapat mungkin ilmu Ushul Fiqh harus bisa mengambil pelajaran dari metodologi ilmu-ilmu Sosial, dan demikian juga sebaliknya, ilmu-ilmu Sosial dapat mengambil pelajaran dari metodologi ilmu Ushul Fiqh.
  6. Sementara dari segi kandungan dapat diadakan kajian ulang sebagai berikut:
    1. Memasukkan ilmu maqâshid, ilmu qawâ’id, furuq dan al-takhrîj ke dalam ilmu Ushul Fiqh supaya lebih terlihat gunanya dalam tataran praktis.
    2. Membuang al-dakhîl. Maksudnya, menghindari kajian yang tidak berkaitan erat dengan ilmu Ushul. Ilmu lain yang berkaitan jauh dengan ilmu Ushul dapat dibukukan secara independen seperti ilmu kalam, logika dan ilmu bahasa.
    3. Membuat daftar isi agar memudahkan interaksi dengan ilmu Ushul Fiqh.
    4. Menyusun kembali ilmu Ushul Fiqh secara sederhana setelah membuang al-dakhîl. Yaitu dengan menerangkan perbedaan pendapat para ulama Ushul untuk kemudian mencantumkan pendapat yang dianggap paling râjih.
  7. Mengembangkan tema kandungan ilmu Ushul:
    1. Menerangkan piranti-piranti yang perlu digunakan dalam mengeluarkan permasalahan furû‘iyyah (takhrîju’l furû’), kemudian mengaitkannya dengan kaidah Fiqhiyyah dan disertakan keterangan mengenai manfaat yang dapat diambil dari berbagai perbedaan pendapat tersebut.
    2. Menjadikan maqâshid syar‘iy sebagai sandaran dalam fatwa.
    3.  Mengembangkan dan mengkaji kembali sumber-sumber hukum dan metodologi yang perlu digunakan (mashâdir, manâhij dan adawât).
    4. Ijma dan ijtihad harus berasal dari lembaga-lembaga formal.
    5. Menggunakan metodologi ilmu Ushul Fiqh dalam ilmu-ilmu Sosial.
    6. Menggunakan metodologi ilmu-ilmu Sosial dalam ilmu Ushul Fiqh.
    7. Memanfaatkan berbagai cabang ilmu baru yang dapat membantu dalam pengembangan ilmu Ushul Fiqh. [15]

Problematika Ijtihad Kontemporer

Ijihad secara etimologi berasal dari kata ijtahada yang berarti badzdzala dan thalaba, yaitu bersunggu-sungguh dan meminta sesuatu. Secara terminologi adalah seorang faqih bekerja keras untuk menghasilkan suatu ketetapan hukum syar‘i yang bersifat zhanniy. [16]

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa rukun ijtihad ada dua, yaitu al-mujtahid dan al-mujtahad fîh. Menurut Ali Jum‘ah, hukum ijtihad adalah fardhu kifâyah. Jika dalam suatu kaum sudah ada orang yang melakukan ijtihad, maka akan menggugurkan kewajiban jamah, namun jika dalam suatu kaum tidak ada seorang pun yang mampu berijtihad, maka seluruh kaum tersebut akan menanggung dosa.

Ijtihad sendiri merupakan sesuatu yang sangat urgen. Hal ini dapat dilihat dari dua hal:

  1. Zhanniyatu al-nushûsh. Artinya bahwa sebagian besar nash syar‘i memiliki lebih dari satu makna.
  2. Nash-nash syar‘i sangat terbatas sementara realitas yang dihadapi umat manusia tidak terbatas.[17] Dari sini dapat dikatakan bahwasanya fungsi ijtihad adalah memberikan kesinambungan hukum syar‘i yang telah terputus bersamaan dengan berhentinya wahyu.[18]

Jika dikatakan bahwa ijtihad merupakan kesinambungan terhadap ketetapan hukum syar‘i, apakah kemudian menjadi keharusan bahwa ijtihad harus selalu sampai kepada hakekat kebenaran? Sebagaimana yang disinyalir oleh imam Syafi’i, bahwa ijtihad adalah usaha maksimal yang dilakukan oleh mujtahid untuk mencari hakekat kebenaran, maka ijtihad tidak pasti mendapatkan hakekat kebenaran yang mutlak. Karena kebenaran yang sesungguhnya hanyadari Allah. Maka tidak dibenarkan bagi seorang mujtahid untuk menyalahkan secara mutlak hasil ijtihad orang lain yang berbeda.[19]

Ada beberapa kendala yang sering dihadapi oleh para mujtahid, diantaranya adalah:

  1. Bahwa nash-nash syar‘i sangat terbatas sementara problematika yang dihadapi umat manusia tidak terbatas.
  2. Terpisahnya berbagai cabang ilmu dan piranti ijtihad.
  3. Kajian ilmu Ushul lebih banyak pada tataran teoritis, namun tidak menyentuh realita secara langsung
  4. Problem dalam memahami nash al-Qur’an.
  5. Problem dalam memahami hadits.
  6. Problem dalam memahami konteks dan indikator (qarînah) yang terdapat dalam suatu nash. Sementara dari indikator itulah ketetapan hukum dari nash syar‘i dapat dipahami secara benar.
  7. Problematika dalam ilmu Ushul Fiqh itu sendiri, baik dari segi metodologi penulisan, independensi ilmu Ushul dari ilmu Fiqh, maupun pada permasalahan perdebatan kaidah dalam ilmu Ushul sendiri.
  8. Problem perubahan adat dan tradisi.
  9. Problem dalam memberikan susunan ilmu Ushul Fiqh yang sistematis. Dan juga problem mengenai argumentasi yang dapat disepakati bagi para mujtahid. Persoalan ini nampak jelas kaitannya dengan ta‘ârud dan tarjîh.
  10. Problem qiyâs dalam tataran praktis.

Persoalan yang juga sering menjadi polemik di kalangan para ulama Ushul adalah mengenai ijtihad Rasulullah Saw. Adapun menurut Ali Jum‘ah, sebenarnya problem ataupun pertanyaan seputar ijtihad Rasul merupakan pengaruh dari Filsafat Yunani. Dalam Filsafat Yunani terjadi perdebatan: Bisakah seseorang melakukan dua kajian komprehensif terhadap suatu permasalahan dan mendapatkan dua hasil: zhanny dan qath‘iy? Dan jika ya, apakah kemudian ia diperbolehkan untuk meninggalkan yang zhanny untuk kemudian melaksanakan yang qath‘iy?

Pertanyaan seperti ini kemudian berkembang di dunia Islam, yaitu lontaran pertanyaan, apakah Rasulullah yang memiliki nash qath’iy dari Allah dibolehkan melakukan ijtihad yang bersifat zhanniy?

Menurut Ali Jum‘ah, sesungguhnya Rasululluh Saw. sama sekali tidak melakukan ijtihad. Apa yang difatwakan Rasulullah merupakan wahyu Allah. Jadi tugas Rasul hanyalah sebagai penyampai atas kehendak Allah.

Penutup

Ali Jum‘ah termasuk pioner dalam kajian ilmu Ushul Fiqh kontemporer. Baginya, ilmu Ushul Fiqh merupakan metodologi yang dapat berkembang sesuai dengan tempat dan waktu. Sebagai suatu metodologi, tentu saja ilmu Ushul Fiqh sangat terpengaruh oleh kondisi sosial yang melatarbelakangi pembentukan ilmu tersebut. Mengingat bahwa sejak pembukuan awal ilmu Ushul hingga saat ini telah berlangsung sekian abad, maka sudah menjadi satu keniscayaan untuk kemudian mengembangkan, mengkaji ulang dan menyesuaikan ilmu Ushul sesuai dengan konteks kekinian. Maka rekonstruki ilmu Ushul adalah suatu keniscayaan.

Berbagai cabang ilmu lain yang kiranya dapat menjadi sumbangsih dalam pengembangan ilmu Ushul dapat dijadikan sebagai masukan konstruktif. Dalam hal ini, maka tidak ada salahnya jika ilmu Ushul mengadopsi metodologi yang terdapat dalam kajian ilmu-ilmu sosial. Di samping itu, ilmu Ushul Fiqh juga dapat melebarkan sayap, tidak hanya berkutat pada kajian Fiqh an sich! namun juga lebih progresif kepada garapan lain seperti ilmu-ilmu Sosial. Dengan demikian diharapkan Ushul Fiqh tidak jumud dan rigit, namun tetap mampu manjadi metodologi yang dapat diandalkan bagi perkembangan peradaban Islam kedepan. Semoga!

Daftar Pustaka:

Abû Zahrah, Muhammad, Ushûlu’l Fiqh, Darul Fikr al-‘Arabi, Beirut

Jum‘ah, Ali, Âliyyâtu’l Ijtihâd, al-Risalah, cet. I, 2004

————Al-Madkhal, Al-Ma’had al-‘Alamiy li’l Fikr al-Islamiy, 1996

————Ilmu Ushûli’l Fiqh wa ‘Alâqatuhu bi’l Falsafah al-Islâmiyyah, Al-Ma’had al-Âlamiy li’l  Fikri al-Islâmiy, cet. I, 1996

————Qadhiyatu tajdîd Ushûli’l Fiqh, Dâru’l Hidâyah, 1993

Zaidân, Abdul Karim, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fiqh, Mu’assasah al-Risalah, cet. V 1994


[1] Muhammad Abû Zahrah, Ushûlu’l Fiqhi, Dâru’l fikri al-Arabîy, hal. 1

[2] Abdul Karim Zaidân, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fiqhi, Mu’assasah al-Risâlah, cet. V 1994, hal. 11

[3] Ibid., hal. 12

[4] Ibid., hal. 14

[5] Ibid., hal. 16

[6] Ibid., hal. 16-18

[7] Ali Jum‘ah, Al-Madkhal, Al-Ma’had al-‘Âlamiy li’l Fikri al-Islâmiy. 1996

[8] Ibid.

[9] Ali Jum‘ah, Ilmu Ushûli’l Fiqh wa ‘Alâqatuhu bi’l Falsafah al-Islâmiyyah, Al-Ma’had al-Âlamiy li’l  Fikri al-Islâmiy, cet. I, 1996, hal. 7-10.

[10] Ibid., hal. 9

[11] Ibid., hal 7-10

[12] Ibid., 13-17

[13] Ibid., 18-19

[14] Ali Jum‘ah, Qadhiyatu tajdîd Ushûli’l Fiqh, Dâru’l Hidâyah, 1993, hal. 21

[15] Ali Jum‘ah, Âlyâtu’l Ijtihâd, al-Risâlah, cet. I 2004, hal. 52

[16] Ibid., hal. 9

[17] Ibid., hal. 10

[18] Ibid., hal. 15

[19] Ibid., hal. 41

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar